Asal Usul warga Asahan/kisaran


Menelusuri Asal-Usul Masyarakat Asahan

 Siapa dan bagaimana asal usul masyarakat Asahan hingga saat ini masih belum ada yang mampu menjawabnya. Ada yang bilang warga Asahan berasal dari keturunan orang Jawa, ada yang mengatakan dari Batak, ada juga yang bilang dari Aceh Darusallam, dari India, China, dan Persia. 
Namun berdasarkan penemuan terbaru yang dilakukan oleh ahli sejarah di Asahan, ditemukan bukti kuat bahwa masyarakat Asahan merupakan keturunan dari Minangkabau. Hal ini diperkuat dengan bukti tentang penamaan beberapa daerah yang ada kaitannya dengan Minangkabau.

Oleh: Syafruddin Yusuf

Penasaran dengan cerita-cerita dari para leluhur tersebut, akhirnya penulis yang merupakan putra asli kelahiran Asahan yakni di Simpang Enam Kisaran, Gang Belimbing Jalan Karttini mencoba menelusuri siapa sebenarnya nenek moyang masyarakat Melayu Asahan. Berdasarkan rasa penasaran tersebut penulis bertemu dengan seorang pria yang sudah cukup tua yakni Abdul Muis warga Asahan yang berusia sekitar 78 tahun.
Menurut Abdul, ia sendiri tidak mengetahui secara pasti siapa nenek moyang dan bagaimana asal usul masyarakat Melayu Asahan. Menurutnya, saat ia masih kecil, berdasarkan cerita kakeknya (atok/atuk/ompung), banyak versi yang menceritakan tentang asal usul masyarakat Melayu di Asahan. Hanya saja, Abul mengatakan, berdasarkan legenda sekitar ratusan tahun lalu, di Asahan ada pusat kerajaan di Batubara, Tanjungbalai, di Kota Kisaran, di Asahan, dan Kecamatan di Tanjung Alam, di Kecamatan Tinggi Raja dan ada kerajaan kecil lainnya.   
Mendengar pengakuan dari Abdul, akhirnya saya menelusuri wilayah Tanjung Alam untuk mencari kepastian/kebenaran tentang kerajaan yang pernah berdiri di daerah tersebut. Namun sayang, beberapa warga yang ditemui yakni Ibu Rahmawati (45), Ibu Siti (50) dan Iwan (43)  mengaku secara pasti di mana pusat kerajaan di daerah tempat mereka tinggal. Tapi menurut legenda, memang di kampung mereka dulu pada masa ratusan tahun lalu pernah berdiri kerajaan yang diyakini sebagai cikal bakal Kerajaan Asahan.
Masih menurut mereka, di Tanjung Alam dulu sekitar tahun 1990 an juga pernah ditemukan beberapa bukti sejarah seperti gelang tangan kerajaan yang terbuat dari emas, mahkota kerajaan, guci, kapal/perahu yang tertanam di dalam tanah di pesisir pantai, dan tugu/prasasti dan masih banyak lagi.  
Jasnis Sulung budayawan dan pengamat sejarah Asahan yang ditemui mengatakan, di Asahan banyak kerajaan yang tidak tercatat dalam buku sejarah pelajaran di sekolah, mau pun buku sejarah kerajaan nasional. Anehnya pada buku sejarah kerajaan dari luar negeri seperti, China , Mesir, Arab , India, malah tercatat beberapa nama kerajaan yang pernah ada di Asahan.
Menurut Jasnis Sulung, berdasarkan hasil penelitiannya selama hampir 7 tahun lebih yang dilakukannya, baik melalui penelurusan langsung ke lokasi yang diyakini sebagai tempat berdirinya pusat beberapa kerajaan di Asahan dan buku sejarah kerajaan China masa dinasti Ming, Dinasti Han, Dinasti Tang dan Qing, serta buku sejarah kerajaan India kuno yang membahas tentang dinasti kerajaan Kerajaan Chola, buku Aceh Sepanjang Abad, Medan Tempoe Doeloe, ternyata ada banyak kerajaan yang ada di Asahan baik di Batubara, Asahan, Tanjungbalai yang tidak tercatat dalam buku pelajaran sejarah di sekolah dan buku sejarah Negara Kertagama.
Zasnis menambahkan, sebelum berdirinya kerajaan Istana Lima Laras, berdasarkan hasil penelusurannya selama ini dan berdasarkan buku sejarah yang dibacanya sebagai refrensi, nama Batubara di Asahan diambil dari sebuah batu di pendalaman yang pada malam hari mengeluarkan cahaya merah berapi.
“Demikian menurut catatan John Anderson, seorang utusan dari Gabenur Inggeris di Pulau Pinang ketika mengunjungi Batubara di tahun 1823 seperti dinyatakannya ‘Batubara is so called from a large stone in the interior, which at night has the appearance of being red hot, and throws a light around it,” ucap Zasnis.  
Zasnis menambahkan, berdasarkan cerita turun temurun rakyat Asahan, wilayah Batubara dulunya di huni oleh masyarakat dari asal Minangkabau yang mula-mula mendarat menaiki kapal ‘Gajah Ruku’.
“Nama-nama daerah di wilayah Batubara mengingatkan kita akan negeri asal nenek-moyang mereka seperti Lima Puluh, Lima Laras, Pesisir, Tanah Datar, tetapi apakah para pemukim pertama ini langsung datang dari Minangkabau atau melalui Siak, Zasnis tak berani memastikannya. 
Di tanah Minangkabau ada tiga luhak yang besar yaitu Luhak Tanah Datar, berkedudukan di Padang Datar di Ulak Tanjung Bungo, Luhak Agam di Padang Panjang dan Luhak Limapuluh Koto berkedudukan di Koto Nan Ampat, Paya Nan Kumbuh sekitar Payakumbuh. Demikianlah susunan ketiga masa adanya kerajaan Pagaruyung.  
Karena lalu lintas pada masa itu sebahagian besar melalui sungai maka hulu sungai sekitar Paya Kumbuh adalah Hulu Sungai Kampar kanan yang bermuara di sekitar Kampar, Pelalawan, agak jauh dari Sumatera Timur. Umumnya imigrasi dari Minangkabau melalui sungai itu ke Semenanjung Tanah Melayu, Negeri Sembilan.  
Sementara itu di Kerajaan Siak Inderapura juga mempunyai orang-orang besar, Datuk Empat Suku yaitu Datuk Lima Puluh bergelar Datuk Seri Bijuansa, Datuk Tanah Datar bergelar Datuk Seri Pekermaharaja, Datuk Pesisir bergelar Datuk Maharaja Ketuansa dan Datuk Kampar bergelar Datuk Seri Amar Wangsa, mereka berasal dari Minangkabau. Nama-nama itu meyakinkan kita adanya persamaan dengan yang di Batubara dan imigrasi dari wilayah-wilayah tadi yang ada di Siak ke wilayah Batubara dengan sekadar menyusur pantai  saja arah ke utara dari Siak.        
Jasnis mengatakan, Batubara memberontak dari Aceh hingga Sultan Aceh langsung memimpin ekspedisi militer ke Batubara. Serangan kerajaan Aceh itu berhasil memukul raja Batubara. Beberapa kepala negeri Batubara menyatakan tunduk dan mereka menpersembahkan minuman dari air kelapa.. Rupa-rupanya salah satu dari air kelapa itu diberi racun sehingga ketika Sultan Aceh itu meminumnya ia jadi sakit, sehingga serta merta angkatan laut Aceh itu kembali pulang ke Aceh. Mereka yang memberontak kembali memperkuat Batubara.
Ketika Raja Kecil tiba dari Pagaruyung menjadi Sultan Siak, dengan bantuan orang-orang Minangkabau di Siak dan Batubara, mereka berhasil merebut takhta  imperium Melayu Johor-Riau di tahun 1717. Kemudian setelah ia terusir  oleh orang-orang Bugis dari Riau, ia kembali ke Siak menjadi raja di situ dan semasa pemerintahan di Siak tahun 1723 sampai 1740M, ia menetapkan pengangkatan raja-raja di Batubara, Perbaungan dan Denai.  
Sejak masa itu kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir Sumatera Timur termasuk Batubara berada di bawah kekuasaan Siak. Setiap pengangkatan raja-raja yang baru termasuk Datuk di Batubara haruslah menghadap ke Sultan Siak untuk memperoleh cap yang baru. Untuk mewakili Sultan Siak di Batubara, diangkatlah seorang Bendahara di Bogak.
Pengangkatan para Datuk di wilayah Batubara tidaklah lagi berdasarkan adat Minangkabau di mana para Datuk itu mewakili suku turunan tertentu tetapi Datuk-datuk di Batubara sebagaimana halnya raja-raja di negeri Melayu adalah mengepalai suatu wilayah teritorial tertentu.  
Di daerah Bogak ada dua orang yang memperebutkan hak ini yaitu Datuk Temenggung diakui dan mendapat cap dari Siak dan Datuk Indra Muda mendapat cap dari Yang Dipertuan Besar Pelalawan yang merangkap juga Raja Muda Bogak. Kerana adanya perpecahan itu maka Sultan Asahan campur tangan dan mengusir baik Datuk Temenggung mau pun Datuk Indra Muda dan Bendahara yang mewakili Siak di situ.  
Sultan Serdang kemudian ikut campur pula dan mengangkat Datuk Lima Laras dengan cap dan gelar Datuk Laksamana Putera Raja. Memang keadaan di Batubara masa pertengahan abad kesembilan belas itu agak kacau kerana di Siak sendiri pemerintah agak lemah. Datuk Indra Muda yang diusir Sultan Asahan itu masih berkeinginan menjadi Datuk Bogak sehingga melalui Pengeran Langkat ia minta bantuan Siak memulihkan kedudukan itu di tahun 1862.  
Menurut laporan John Anderson di tahun 1823 itu mesti pun wilayah Batubara diperintah Siak dengan menempatkan wakilnya yaitu Bendahara di Bogak sejak 1804 dan para Datuk menerima pengangkatan dan cap dari Sultan Siak tetapi pada umumnya mereka seolah-olah negeri merdeka. Mereka menerima cukai import dan eksport yang berada di bawah Shahbandar Ahmad. Mereka membuat perjanjian dagang sendiri dengan Inggris dan menghukum serta membuat peraturan sendiri untuk rakyat mereka.  
Di tahun 1823 itu Datuk-datuk di Batubara ialah Datuk Seri Biji Diraja, Che Wang gelar Datuk Semu Wangsa, Wan Noordin bergelar Datuk Paduka Sri Laksamana, Sulaiman bergelar Datuk Seagar Raja. Di bawah Datuk-datuk ini ada dua-puluh orang Penghulu yang mengepalai distrik dan kampung-kampung. Di samping itu ada lagi Temenggung Abdul Latif yang mengepalai Kampung Bogak.  
Menurut Anderson Sungai Bedagai Mati adalah di bawah Batubara, begitu juga Sungai Tanjung dan Pagurawan. Kampung-kampung masa itu yang ada di Sungai Batubara ialah Bagan sebelah kiri, ada 75 buah rumah penduduknya nelayan, menyusul Bogak disebelah kanan, sungai memudik dengan 100 buah rumah, kemudian Kampung, tempat kediaman Datuk dengan 200 buah rumah. Di ketiga buah kampung ini berdiam kebanyakan nakhoda dan anak buah kapal perahu-perahu dagang. Wanita di sini terkenal kerana penenun kain. Sedikit di atas Bagan, sungai terbahagi dua, yang pertama Tanah Datar dan kedua Limapuluh. Di atas Sungai Tanah Datar kita dapati kampung-kampung Permatang, Lahuhan Ruku, Terusan, Pahang, Pelangkai, Padang Ganting, Kampung Panjang, Sejamput, Kelobot, Kelubi, Simpang, Lima Puluh. Di atas Sungai Lima Laras ada Kampung Nibung Angus, Kampung Lalang, Sentang, Pinang, Kedah, Asam Bacang, Pengalai, Raja dan Tanjung Rawa.  
Produksi Batubara umumnya rotan, ikan asin, kuda, kain bertabur, import adalah candu, benang emas, garam, kain berbagai ragam. Penduduk Batubara merupakan pemilik dan anak-buah kapal-kapal yang mengangkut barang-barang dari negeri-negeri Melayu di pantai Sumatera Timur ke Penang dan Melaka. Yang disebut itu kebanyakan penduduknya kaya dan mempunyai kapal-kapal besar. Hamba-hamba orang Batak dari pendalaman diangkut dalam jumlah besar.  
Menurut Syahbandar ada 600 buah kapal besar yang dimiliki Batubara yang setiap kali dipakai dalam  perniagaan. Di setiap rumah di Batubara ditemui industri kerajinan tenun dan dieksport ke negeri Melayu di Sumatera dan Malaya .  
Penduduk: Penduduk Melayu berjumlah kira-kira 10,000 orang dan 4,000 orang sebagai perajurit perang. Orang Batak ada di pendalaman dari suku Kataran atau Simalungun. Raja-raja Simalungun memberikan puteri mereka kepada Datuk-datuk Melayu dengan bayaran 300-400 dollar untuk upacara perkahwinan ditambah persembahan 10 sampai 12 orang budak, beberapa ekor kuda dan kerbau.  
Cukai: Batubara adalah ‘free-port’, pelabuhan bebas dan mata-wang berbagai negara dapat dipakai di sini. Sungai Silow merupakan batas Batubara dengan Asahan.  
Kampung Bagan di bawah Penghulu Mohamad masih di bawah Batubara. Dengan bantuan Siak dan Belanda, Datuk Indra Muda mengangkat anaknya, Orang Kaya Abdul Samad sebagai Datuk Bogak. Tetapi Datuk Laksamana Putera Raja dari Lima Laras menentang Belanda.  
Ketika ekspedisi militer Belanda kedua terhadap Asahan dan Serdang yang melawan dilancarkan pada tahun 1865, penyerangan pertama ialah ke Batubara pada tanggal 12 September untuk mencari Datuk Lima Laras yang kemudian diketahui bersembunyi di Serdang. Maka puteranya Orang Kaya Abdullah yang menentang lalu rumahnya dikepung dan setelah perlawanan singkat ia dapat ditangkap dan dibawa ke kapal perang Belanda serta senjata dan rumahnya dibakar Belanda.  
Datuk Laksamana dari Lima Laras diketahui Belanda aktif sebagai perantara antara Sultan Serdang dengan Sultan Asahan dan Inggeris di Penang di dalam menentang penetrasi Belanda ke Sumatera Timur dan pada tanggal 17 September dalam ekspedisi militer Belanda beliau naik kapal meninggalkan Batubara menuju Asahan dan Serdang.  
Di dalam tahun 1882 oleh pemerintah India-Belanda ditetapkanlah batas antara daerah kekuasaan Datuk-datuk di Batubara. Ketika pada tanggal 31hb Mei, 1884 diadakan perjanjian di mana pemerintah India-Belanda mengambil alih hak pajak dan monopoli. Maka kesatuan Shahbandar di Batubara juga dihapuskan.  
Kepada para datuk Tanah Datar, Bogak, Lima Puluh, Lima Laras dan Pesisir diberikan ganti rugi masing-masing sebesar 2,000 guilder setahun sebagai ganti rugi hak yang dimiliki itu dan kepada Datuk Lima Puluh diberikan lagi tambahan ganti rugi sebesar 875 guilder kerana pengambilan alih hak cukai di muara Sungai Gambus dan Telok Piai dan 750 guilder kepada Shahbandar Batubara kerana ia kehilangan hak ambil terhadap cukai di Batubara. Pada tanggal 16 Juli 1889, 11 November 1890 dan 25 Oktober dibuatlah perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Batubara sama seperti bunyinya dengan Kota Pinang.  
Kemudian  perjanjian serupa dibuat pula oleh Belanda dengan jajahan Siak iaitu Tanjung, Sipare-pare dan Pagurawan di mana Siak melepaskan haknya atas ketiga daerah kecil ini juga dimasukkan ke dalam Afdeeling Batubara. Tiga daerah Simalungun iaitu Tanah Jawa, Permatang Siantar dan Tanjung Kasau di tahun 1888.  
Jasnis menambahkan, Tahun 1894, Raja Pagurawan, Datuk Setia Wangsa dibuang selama lima tahun ke Bengkalis oleh Belanda dan digantikan puteranya Datuk Setia Maharaja Lela. Begitu juga Raja Tanjung Kasau dijatuhkan Belanda di tahun 1900 digantikan oleh adiknya Raja Maharudin. Adapun gelar Raja-raja di Batubara tahun 1900 ialah Tanah Datar, Datuk Seri Biji Diraja, Bogak, Datuk Indra Muda, Lima Puluh, Datuk Seri Maharaja, Lima Laras, Datuk Maharaja Seri Indera, Pesisir, Datuk Semuawangsa, Tanjung, Datuk Indera Setia, Sipare-pare, Datuk Sutan Pahlawan, Pagurawan, Datuk Setia Maharaja Lela. 
Dengan Beslit 1887 No 21, residen Sumatera Timur dibahagi dalam Lima Afdeeling, antara lain Afdeeling Batubara berkedudukan di Labuhan Ruku di bawah seorang Kontelir Belanda. Kemudian wilayah Batubara juga tidak ketinggalan di buka oleh maskapai asing perkebunan tembakau di tahun 1885. Ada 565 pak meningkat di tahun 1889 menjadi 2,877 pak tembakau. Perkebunan tembakau di tahun 1900 ada 7 buah dan 3 buah perkebunan kopi di Batubara mengingat jejak Deli-Serdang di tahun 1906 dibuka kebun Lima Puluh oleh Deli Batavia Maskapai.  
Dengan Beslit Gabenor-General tahun 1920 beberapa kerajaan di Batubara disatukan dengan yang lain, seperti daerah Tanjung, Sipare-pare, Tanjung Kasau dan Pagurawan disatukan dan dijadikan satu kerajaan bernama Inderapura di mana diangkat oleh Belanda salah seorang pegawainya, seorang bangsawan bernama Tengku Abdullah Seman alias Tengku Busu iaini menandatangani penyataan pendek Korte Verklaring 21.10.1920.  
Begitu juga kerajaan Lima Laras dihapuskan bersama Bogak dan disatukan menjadi sebuah kerajaan Suku Dua. Yang menjadi raja diangkatlah Ahmad Khalil, Datuk Suku Dua yang menandatangani Korte Verklaring tahun 1920. Kerajaan Limapuluh menandatangani Korte Verklaring untuk pertama kali dilakukan oleh Wan Alang, Datuk Maharaja Seri Indera Muda pada tanggal 14.8.1907. Datuk Abdullah, Datuk Lela Wangsa dari Pesisir menandatangani Korte Verklaring pada tanggal 14.7.1907 dan Tanah Datar pada tanggal 14.8.1907 yang ditandatangani oleh Datuk Sharoni, Seri Indera Diraja.  
Pada bulan Augustus 1930, ahli waris tata kerajaan Lima Laras, OK Abdul Rahim telah berangkat sendiri ke Batavia untuk menuntut kepada Gabenor-General hak atas kerajaan Lima Laras yang dihapuskan dan disatukan Belanda dengan Bogak, iIa tidak berhasil. Pada 19 Juli 1934, ditabalkanlah Datuk Abdul Jalil alias Datuk Abdul Rani menjadi Datuk Pesisir yang baru. Begitu juga pada bulan Juli, 1939, Wan Ingah Mansyur ditabalkan menjadi Datuk Lima Puluh pada tanggal 22 Juli, 1940, Wan Asmayudin pula ditabalkan menjadi Datuk Suku Dua. Suatu gabungan kerajaan yang baru didirikan Belanda di tahun 1927.  
Dari hasil penelitian pemerintahan Belanda yang mengumpulkan bahan-bahan dari sumber setiap kerajaan di Batubara disimpulkan Batubara dihuni oleh pemukim dari Siak. Pada abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah pesisir dan mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam kurun ini juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara di Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk memperlancar proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati empat raja urung di Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam.
 Ia juga menikah dengan adik Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat pada masa itu. Sebagai hadiah pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh. Ia menjadi primus inter pares di antara raja-raja itu. Pada masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita (mungkin mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat).
Kesempatan ini digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699 (Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.
Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang).
Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21 Maret 1717.
Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu) terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja di Deli.
Saat pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli (1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306; Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada zaman cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823. (***)

0 komentar:

Posting Komentar